Pages

Wednesday, November 14, 2012

Kurangi Fosfat, Kurangi Sakit Jantung


Penyakit jantung koroner saat ini merupakan penyebab kematian nomor SATU di dunia sekaligus di Indonesia. Di Amerika Serikat, sekitar 478 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Karena itu Penyakit ini masih menjadi pangsa penelitian yang menarik bagi banyak researcher di dunia.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Sheffield Kidney Association dan National Institute for Health Research menunjukkan bahwa endapan kolesterol di dinding arteri bisa meningkat seiring meningkatnya konsumsi makanan yang banyak mengandung fosfat. Penyempitan pada pembuluh arteri ini merupakan penyebab paling banyak kasus penyakit jantung dan stroke.

Studi ini menunjukkan hubungan antara diet tinggi fosfat dan arterosklerosis. Penemuan yang dipublikasikan pada Arteriosclerosis, Thrombosis and Vascular Biology (2 Juni 2011) ini mengungkapkan pula bahwa mengurangi intake fosfat dapat mengurangi pula resiko penyakit jantung. Implikasinya, para peneliti menunjukkan pentingnya mengurangi diet fosfat atau mengonsumsi obat yang dapat menghentikan absorpsi fosfat oleh tubuh. Jenis-jenis makanan yang tinggi fosfat antara lain biskuit, kue, makanan manis, olahan susu, dan daging-dagingan.

Dr. Tim Chico dari University's Department of Cardiovascular Science yang mengepalai riset ini mengungkapkan, "Penemuan ini masih sangat awal, tapi sangat menjanjikan, karena penemuan ini menunjukkan dengan mengurangi sejumlah fosfat dalam darah kita mungkin bisa menemukan pendekatan baru untuk mengurangi penyakit jantung. Kami sekarang berharap untuk mengembangkan riset kami lebih jauh dan melihat perkembangan-perkembangan baru untuk membantu mengurangi derajat fosfat dalam aliran darah."

Planet Mirip Bumi 'segera' Terbentuk


Bumi kita memerlukan miliaran tahun dan kondisi yang sempurna untuk tumbuh dan men-support kehidupan. Sekarang, kondisi yang sama sedang berlangsung jauh di luar sana, sekumpulan dust cloud sedang tumbuh membentuk sebuah planet yang mirip dengan bumi.

Para ahli astrofisika mengatakan dust cloud ini berputar mengelilingi sebuah bintang baru. Bintang muda ini berusia antara 10 sampai 16 juta tahun, cukup muda untuk ukuran sebuah bintang. Diduga suatu saat dust cloud ini akan berkondensasi dan memadat menjadi sebuah planet yang mirip dengan bumi.

Carey Lisse, Ph.D., seorang scientist sekaligus peneliti senior di Johns Hopkins Applied Phisics Laboratoy Laurel, mengungkapkan, "Apa yang sedang kami amati kami duga sebagai proses pembentukan sebuah planet terestrial, sebuah planet berbatu yang mirip dengan bumi, di dekat sebuah bintang."

Secara matematis, terdapat cukup material untuk membentuk sebuah planet. Dust belt yang amat sangat besar, lebih besar daripada asteroid kita, bisa kita temukan di sekitar bintang tersebut. Calon planet ini juga memiliki sabuk es yang mengitarinya, sehingga sangat mungkin terbentuk air di permukaannya.

"Planet ini terbentuk pada jarak yang benar-benar tepat, atau dengan kata lain sangat mendekati jarak terbentuknya bumi dari matahari." Dr. Lisse menambahkan. "Material ini bukan tipe planet gas raksasa dengan atmosfer yang sangat tebal, material ini akan terbentuk menjadi planet berbatu seperti Mars, Venus, atau Bumi."

Jarak dari bumi ke planet ini adalah sekitar 2,5 x 10 pangkat 15 mil atau 2.500.000.000.000.000 mil. Selain itu, butuh 100 juta tahun lagi sebelum planet ini benar-benar terbentuk sempurna.

Tertarik pergi ke sana? Perlu 430 tahun jika kamu naik pesawat yang kecepatannya setara kecepatan cahaya. Kalau naik Garuda? Hitung sendiri deh, hehe...

Bagaimana para astronom mengidentifikasi planet tersebut?

Sebagian besar area di luar angkasa dipenuhi awan padat, gas, dan debu yang menghalangi penglihatan. Akan tetapi cahaya inframerah dapat menembus awan-awan ini, sehingga dapat sampai ke bumi dan wilayah mana pun di luar angkasa.

Sebuah teleskop canggih bernama Spitzer Space Telescope diluncurkan pada 25 Agustus 2003 silam. Spitzer Telescope mendeteksi radiasi inframerah yang dipancarkan oleh benda-benda luar angkasa, sehingga dapat mendeteksi wilayah-wilayah luar angkasa yang tidak terdeteksi oleh teleskop optik.

Meskipun sebagian besar radiasi inframerah ini terblok oleh atmosfer sebelum bisa sampai ke bumi, metode ini sangat membantu para astronom mengamati objek yang lebih dingin, seperti bintang mini yang terlalu redup untuk bisa dilihat, planet-planet extrasolar, awan raksasa, dan molekul-molekul lain termasuk molekul organik.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More