Pages

Wednesday, December 7, 2011

Menghargai Pejalan Kaki

Buat saya, kondisi sosial di mana pun di dunia layaknya filosofi jalan raya; yang besar yang berkuasa. Di jalan raya, sepeda pancal selalu disalip oleh sepeda motor. Begitu juga sepeda motor tidak bisa menyaingi mobil. Motor kalah cepat. Sama juga kalau mobil menghalangi jalannya bus pasti akan diklakson habis-habisan. Bus yang menang.

Di dunia nyata hal seperti sudah biasa. Orang yang berkedudukan tinggi tidak mau jalannya dihalangi orang yang pangkatnya lebih rendah. Orang besar selalu menang. Orang kecil yang mencuri ayam karena butuh makan dipenjara bertahun-tahun. Sedangkan orang besar yang makan uang negara miliaran dihukum di penjara yang eksklusif, paling-paling lima bulan lagi keluar. Sekali lagi, orang besar selalu menang.

Ah, dari pada ngerasani negara let's back to the topic...

Seperti motor, mobil, dan bus tadi, seperti itu pula para pejalan kaki. Di Indonesia mereka adalah kaum minoritas yang terkesampingkan. Kalau dianalogikan di strata pemerintahan, maka para pejalan kaki adalah rakyat jelata, kalangan paling bawah, kaum sudra, pokoknya sebangsa itu lah. Mereka -pejalan kaki itu- tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari jalan raya. Mereka lewat jalan raya paling-paling cuma waktu menyeberang jalan, selebihnya tempat mereka adalah trotoar. Itu pun kadang sudah terlebih dahulu diperkosa hak-haknya oleh kendaraan bermotor. Pengemudi kendaraan bermotor sering tak mau mengalah, sudah tahu ada yang mau menyeberang jalan masih saja ngebut. Yang mengalah? tentu saja pejalan kaki, siapa yang mau ditabrak?

Saya pun sering mengalami hal serupa. Sewaktu mau menyeberang, para pengemudi kendaraan bermotor malah menancap gas supaya saya tidak memotong jalan. Yang benar saja... Kembali ke prinsip nomor satu; yang besar selalu menang.

Tapi lain ceritanya kalau mereka menyadari substansi pejalan kaki. Berkat mereka berjalan kaki, kemacetan jalan raya bisa dikurangi. Selain itu berjalan kaki juga menghemat bahan bakar fosil yang semakin sedikit, mengurangi polusi, serta mencegah efek rumah kaca yang bermuara kepada global warming. Coba bayangkan kalau semua pejalan kaki itu membeli motor, dan motor-motor itu semua dipakai di jalan raya yang sama di waktu yang sama, apa g tambah sumpek? Itu baru motor, bagaimana kalau beli mobil?

Itu baru dilihat dari sisi kemacetan. Bagaimana kalau dilihat dari sisi polusi? Pejalan kaki -dan pengendara sepeda pancal sebenarnya- adalah pahlawan global warming. Ketika para anggota DPR dan orang-orang pemerintahan sibuk berkampanye tentang global warming, para pejalan kaki tanpa banyak teori sebenarnya telah mempraktikkan penekakan jumlah polusi dengan komitmen berjalan kaki. Lucu sebenarnya melihat ada orang kampanye tentang global warming tapi mereka berangkat ke tempat kampanye dengan mobil.

Begitulah seharusnya orang-orang memandang eksistensi pejalan kaki. Pandanglah substansinya. Berterima kasihlah kepada mereka karena berkat mereka berjalan kaki, anda tidak perlu terlambat masuk kerja karena alasan kemacetan. Jika seratus tahun lagi bumi masih dihuni manusia, berterima kasihlah pada mereka karena berkat mereka efek global warming bisa tereduksi. Buat saya, pejalan kaki adalah pahlawan jalan raya. Terima kasih pejalan kaki...

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More